Senin, 13 Februari 2012

Siti Khadijah, pengusaha tangguh – istri panutan

Siti Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza atau Khadijah Al Kubra (Khadijah the Great) adalah seorang wanita bangsawan Mekkah yang terkenal dengan kekayaan dan kecantikannya. Beliau juga mendapat julukan Putri Qurays. Beliau menikah dengan Muhammad rasulullah ketika usianya menginjak 40 tahun dan Nabi saw berusia 25 tahun. Perbedaan usia yang cukup jauh – pun untuk ukuran masa kini – tidak menjadi hambatan bagi pasangan yang mulia ini membangun rumah tangga yang penuh cinta kasih, saling menyayangi, saling menghormati dan saling mendukung satu-sama lain.

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. berkata: "(Khadijah) beriman ketika orang-orang kafir kepadaku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dan dia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang memblokade."

Selain sebagai istri yang luar biasa bagi Nabi Muhammad saw, Siti Khadijah r.a sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saw telah menjadi wanita pengusaha yang hebat. Siti Khadijah r.a terkenal dengan kekayaan dan ketangguhannya dalam bidang perdagangan.
Dunia Arab jahiliyah pada masa itu sangat dikuasai oleh kaum lelaki, bahkan melahirkan anak perempuan dianggap sebagai suatu aib yang besar, sehingga para ayah tidak segan-segan menguburkan anak perempuannya hidup-hidup, karena malu. Namun demikian Siti Khadijah r.a bisa berdiri tegak di antara para pengusaha dan pedagang Quraisy.

Siti Khadijah r.a mewarisi kekayaan dari ayahnya dan juga dari mendiang suaminya. Namun demikian Siti Khadijah r.a telah mampu mengembangkan usaha yang ditinggalkan oleh suaminya menjadi usaha yang sangat maju, sementara sebagai single parent (sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saw) beliau juga mengurus putra-putrinya dengan baik.
Sebagai pengusaha, Siti Khadijah r.a telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen pengelolaan usaha modern, meskipun dengan cara yang sederhana – yaitu dengan mengangkat nabi Muhammad saw sebagai sebagai manajer penjualan sekaligus manajer investasinya. Namun demikian Siti Khadijah r.a tidak melepaskan begitu saja pengelolaan harta dan barang dagangannya kepada orang lain, beliau juga mengangkat Maysyarah sebagai orang kepercayaannya yang menemani sekaligus mengawasi pekerjaan Muhammad.

Di bawah pengelolaan Muhammad, usaha milik Siti Khadijah r.a makin berkembang dan berkembang. Karena usaha ini dikelola dengan manajemen cara Muhammad yang berdasarkan kepercayaan, kejujuran dan amanah.

Kecuali sebagai pengusaha yang tangguh, Siti Khadijah r.a, ummul mukminin adalah istri yang penuh pengabdian kepada suaminya, terutama pada masa-masa awal kenabian nabi Muhammad saw. Setelah lebih kurang 15 tahun mengarungi kehidupan berkeluarga yang “tenang dan damai”, bersama 4 anak gadis mereka yang cantik dan shalihah. Maka periode kenabian periode yang penuh berkah sekaligus penuh perjuangan. Suaminya, lelaki mulia dan agung itu telah dipilih Allah swt sebagai rasulNya, pembawa kabar gembira bagi umat manusia, bukan hanya bagi sukunya, suku Qurays, tetapi segenap semesta alam.

Pada awal-awal masa kenabian, Muhammad saw mendapat tentangan yang luar biasa dari kaumnya, bahkan dari kaum kerabatnya yang dekat. Hanya sedikit orang yang mau percaya bahwa Muhammad saw telah terpilih untuk membawa risalahNya, salah satunya istri tercinta Siti Khadijah ra. Penolakan dari suku Qurays bukan hanya sekedar penolakan terhadap ajakan dakwahnya, tetapi juga siksaan fisik dan blokade ekonomi. Selama masa itu Siti Khadijah ra mengorbankan seluruh harta kekayaannya untuk mendukung kegiatan dakwah suaminya, nabi Muhammad saw.

Ketika semua orang menentang risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw, Siti Khadijah ra terus mendukung. Beliau melakukan apa saja yang bisa beliau lakukan agar suaminya dapat melakukan tugas dakwahnya dengan baik. Beliau tidak pernah mengeluh, meskipun kehidupan keluarga mereka menjadi sangat menderita secara ekonomi, akibat blokade kaum Qurays terhadap bani Hasyim. Beliau merupakan teman diskusi dan “curhat” bagi nabi Muhammad saw, ketika cobaan demi cobaan dalam mengajak orang-orang kafir Qurays untuk percaya kepada Allah yang satu, dan berhenti menyembah berhala yang tidak dapat memberi manfaat maupun mudharat.

Meskipun disebutkan bahwa Muhammad saw memilki istri lebih dari satu, namun selama Siti Khadijah ra masih hidup, beliau adalah satu-satunya istri Rasulullah saw. Beliau adalah cinta nabi Muhammad saw yang sejati, bahkan ketika sudah tiadapun istri nabi Muhammad saw yang lain masih cemburu pada beliau, karena nabi Muhammad saw selalu menyebut-nyebut kebaikan Siti Khadijah ra. Bahkan malaikat Jibril pun menitipkan salam bagi perempuan mulia ini, pemimpin kaum perempuan di SurgaNya Allah kelak.

Lalu, mengapa kita masih mengidolakan perempuan-perempuan lain yang jauh dari perilaku Islami?

Jakarta, 13 Feb. 12

Minggu, 12 Februari 2012

SIAPA LEBIH KAYA?

SIAPA LEBIH KAYA?

Alvin berteriak-teriak gembira ketika melihat budenya di ambang pintu rumah barunya. “Bude, bude, lihat kamar Apin”, kata Alvin sambil menyeret-nyeret tangan budenya yang baru datang itu.

Walaupun nama sebenarnya Alvin, tapi Alvin selalu menyebut dirinya Apin. Kebiasaan sejak masih kecil, waktu itu Alvin belum bisa mengucapkan namanya dengan benar. Tidak apa-apa, Alvin atau Apin sama saja. Bude tetap sayang sama Apin, murid kelas II SD yang penggembira ini.

“Apa yang Apin mau pamerkan?”, tanya Bude sambil mengelus kepala Alvin yang dicukur pendek.
“Eh, tapi ngomong-ngomong Apin belum salim sama Bude nih?”, goda Bude
“Oh iya .... Apin lupa”, jawab Alvin tersipu, sambil menarik tangan kanan budenya ke pipi kanan, lalu pipi kiri dan terakhir ke dahinya. Alvin memang punya cara yang berbeda untuk salim. Dia tidak mau membawa tangan orang yang disalimi ke hidung, karena pernah punya pengalaman tangan orang yang diciumnya bau cabe – dan Apin eh Alvin langsung bersin-bersin. Setelah itu Alvin hanya mau menempelkan kedua pipinya dan dahinya. Tetap sopan, tapi terhindar dari resiko bersin.

Orang tua Alvin baru membangun rumah baru. Sebelumnya Alvin dan keluarganya tinggal bersama nenek. Mereka menempati satu kamar. Jadi Alvin tidur bersama-sama dengan ayah dan mama dan Aldi. Kadang-kadang Alvin tidur dengan nenek. Rumah Alvin mungil. Namun demikian seluruh keluarga senang bukan main. Sekarang Alvin dan adiknya Aldi punya kamar sendiri. Tidak perlu lagi tidur bersama ayah dan mama. Walaupun sebenarnya Alvin senang juga tidur bersama ayah dan mama. Seru sekali!

Rumah keluarga Alvin yang baru letaknya tidak begitu jauh dari rumah nenek. Setiap hari Alvin masih main ke rumah nenek dengan bersepeda. Kadang-kadang sendiri, kadang-kadang dengan memboncengkan Aldi yang masih duduk di TK.

“Lihat Bude ...... dindingnya dicat biru oleh ayah. Ada gambar mobil balap Formula Wan. Dan lihat .......... atasnya seperti langit betulan”. Dengan bersemangat Alvin memperlihatkan kamar barunya. Kamarnya mungil. Tetapi ini kamar sendiri – eh, berdua dengan Aldi. Di dalam kamar ada tempat tidur bertingkat – Alvin di atas dan Aldi di bawah. Tetapi Aldi suka iri – maunya tidur di atas juga. Dan Alvin kadang-kadang tidak mau mengalah. Maka mereka sering tidur berhimpitan di bagian atas.

Langit-langit di kamar Alvin dicat seperti langit betulan. Berwarna biru muda. Ada lukisan awan-awan putih terang. Persis seperti langit di pagi hari. Teduh dan menyenangkan. Alvin sangat bangga dengan kamarnya. Di dalam kamar ada meja belajar Alvin – yang baru dibelikan ayah. Juga ada lemari pakaian, tempat menyimpan baju-baju Alvin dan Aldi. Sebuah rak buku menempel di dinding dan boks plastik tempat Aldi menyimpan robot-robot mainannya.

“Kamar Apin bagus ya Bude?”, tanya Alvin pada Bude dengan mata berninar.
“Ya bagus sekali. Bude boleh menginap di kamar Apin nggak?”, Bude bertanya sambil mengamati seluruh isi kamar Alvin.
“Boleh dong Bude – tapi jangan di atas ya. Nanti Bude jatuh”, jawab Alvin sambil tertawa geli.
“Pin, mau nggak Bude kasih lihat kamar yang langit-langitnya luas sekali dan warnanya selalu berganti. Warnanya bisa biru muda, bisa biru tua dan kadang-kadang hitam”
“Mau Bude – kalau langit-langitnya luas, pasti kamarnya luas juga ya Bude. Pasti kamar anak orang kaya. Kata ayah, kalau anak orang kaya, kamarnya luas sekali. Luasnya bisa sama dengan seluruh rumah kita”. Alvin memang senang dengan pelajaran mengenai bidang dan isi.
“Ya, nanti ya setelah Bude istirahat sebentar, kita pergi ke sana”.


“Bude, katanya mau ajak Apin lihat kamar yang langit-langitnya luas”, Alvin menagih setelah melihat Budenya cukup istirahat dan kelihatan agak santai.
“Oh iya, Bude lupa. Ayo. Pamit dulu pada ayah dan mama. Adik Aldi diajak juga nggak?”.
“Asik”, Alvin berseru gembira. “Aldi pasti tidak boleh ikut oleh ayah. Sedang batuk”. Alvin tahu pasti Aldi tidak diijinkan pergi dengan Bude yang selalu mengendarai motor. Ya, Bude selalu naik motor kesayangannya. Dan Alvin senang membonceng Bude.

Ternyata Bude mengajak Alvin ke pasar, bukan ke rumah orang kaya yang besar dan luas seperti yang dibayangkannya.

“Koq ke sini Bude? Katanya mau lihat kamar yang besar?”, tanya Alvin
“Siapa yang bilang mau lihat kamar yang besar?” Bude balik bertanya.
“Kan tadi Bude bilang mau lihat kamar yang langit-langitnya luas? Artinya kan kamar yang besar dong”, jawab Alvin
“O ..... begitu. Coba sini ikut Bude”, ajak Bude sambil menggandeng tangan Alvin, setelah memarkir motor kesayangannya di tempat parkir.

“Lihat anak yang sedang tidur di atas meja itu Pin”, kata Bude sambil menunjuk seorang anak lelaki kurus yang sedang tidur di atas meja bekas jualan tempe yang kebetulan siang itu sudah laku terjual. Anak lelaki itu sedikit lebih besar dari Alvin. Pakaiannya lusuh dan badannya dekil. Telapak kakinya kotor sekali. Anak itu tidur tanpa alas apapun. Apalagi bantal. Yang jadi bantal ya lengannya sendiri. Ia tidur nyenyak sekali. Sama sekali tidak terganggu dengan suara hiruk-pikuk pasar dan kendaraan yang melintas di depan pasar.

Alvin memperhatikan anak yang sedang tidur itu, sambil bertanya-tanya dalam hati apa hubungannya dengan langit-langit yang luas.

“Memang ada apa dengan anak yang sedang tidur itu Bude?”, Alvin tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Oh. Perhatikan apa yang ada di atas anak tersebut. Apa yang Apin lihat?”

Alvin tidak melihat apa-apa – kecuali langit yang sedikit mendung.
“Tidak ada apa-apa tuh Bude”, jawab Alvin heran.
“Masak Apin nggak lihat apa-apa? Bukankah yang menaungi anak itu adalah langit yang sangat luas?”, Bude menunjuk ke langit. “Mana yang lebih luas, langit di atas sana atau yang di kamar Apin?”.
“Ah ... Bude. Pastinya yang di atas. Itu ‘kan langit betulan”, jawab Alvin
“Nah, itulah yang bude maksud dengan kamar dengan langit-langit yang luas. Warnanya berganti-ganti setiap hari. Warna di pagi hari tidak sama dengan warna siang hari, dan berbeda lagi dengan warna pada waktu sore. Malam hari warnanya menjadi gelap, tetapi dihiasi oleh berjuta bintang yang bertebaran. Di malam hari juga ada bulan yang bentuknya berubah setiap hari. Apin tahu bentuk-bentuk bulan?”, Bude menjelaskan dengan penuh kasih sayang.
“Ya, Apin tahu. Apin baca di buku. Ada bulan sabit, ada bulan purnama dan ada bulan setengah lingkaran”, jawab Alvin dengan bangga.
“Anak pintar. Lalu siapa sebenarnya yang anak orang kaya Pin? Anak yang sedang tidur di bawah langit yang sangat luas itu, atau Apin?”.

Pertanyaan Bude agak membingungkan bagi Alvin. Kalau Apin mengatakan anak itu anak orang kaya karena langit-langit kamarnya seluas langit, tapi koq tidurnya di atas meja tempat jualan tempe? Kalau Apin mengatakan bahwa Apin lebih beruntung, tapi langit-langit kamar Apin sempit dan tidak bisa berubah-ubah warna?

“Nggak usah dijawab Pin. Kita minum es cendol dulu yuk sebelum pulang”, ajak Bude.

Alvin langsung mengangguk tanda setuju. Tetapi di dalam kepalanya pertanyaan Bude masih terus berputar-putar. Jadi siapa yang lebih kaya?



Jakarta, 18 April 2008